Hasil Survei LSI Terkait Intoleransi Politik
Hasil Survei LSI Terkait Intoleransi Politik. Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terkait intoleransi
politik di tengah masyarakat muslim dan non-muslim. Hasil survei
menunjukkan, tingkat intoleransi umat Islam lebih tinggi daripada umat
non-muslim.
Survei tersebut dilakukan selama bulan Agustus 2018 terhadap 1.520 responden. Peneliti Senior LSI Burhanuddin Muhtadi mengatakan, populasi survei yakni warga negara indonesia yang sudah berumur 17 tahun keatas atau yang sudah punya hak pilih. Margin of error diperkirakan sebesar 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Pertama, survei dilakukan kepada pemeluk agama Islam. Hasil menunjukkan, sebanyak 52 persen responden LSI menyatakan keberatam jika kalangan non-muslim menjadi bupati atau wali kota. Sedangkan yang menyatakan tidak keberatan hanya sekitar 38 persen.
Pada jabatan yang lebih tinggi, 52 persen responden keberatan jika kalangan non-muslim menjabat posisi gubernur. Adapun, yang tidak keberatan hanya 38 persen. Sementara itu, persentasi untuk jabatan presiden dan wakil presiden, juga tak jauh berbeda.
LSI mencatat, sebanyak 55 persen responden muslim keberatan jika kalangan non-muslim menjadi wakil presiden dan 36 persen menyatakan tidak keberatan. Selanjutnya, 59 persen responden keberatan jika seorang non-muslim menjadi Presiden dan 32 persen responden tidak keberatan.
Kedua, survei dilakukan kepada responden non-muslim. Hasil menunjukkan mayoritas warga non-muslim tidak keberatan jika seorang muslim menjadi bupati/wali kota (78 persen), menjadi gubernur (78 persen), serta wakil presiden dan wakil presiden (86 persen). Terlepas dari hasil tersebut, Burhanuddin menilai, perolehan persentase itu tidak jauh dari faktor mayoritas-minoritas.
“Sejak 2010 hingga 2017, intoleransi religius-kultural masih stagnan. Sementara intoleransi dalam politik meningkat dalam tiga tahun terakhir,” ujar Burhanuddin di Jakarta.
Ia menjelaskan, alasan LSI mengambil isu intoleransi karena beberapa lembaga analisis menilai turunnya demokrasi berbanding lurus dengan kebebasan sipil. Artinya, seberapa jauh etnik agama punya hak yang sama dalam perpolitikan.
“Dalam demokrasi, suara mayoritas itu penting tapi demokrasi sendiri menghilangkan tirani mayoritas,” ucapnya.
Direktur Wahud Foundation Yenny Wahid mengatakan, intoleransi dalam politik tengah menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia. Salah satunya, faktor media jejaring sosial yang berdampak besar pada masyarakat. Meski demikian, Yenny tidak sepakat jika ada yang menyebut Indonesia sebagai negara yang intoleran.
“Soal intolerannya Indonesia, kita tidak punya platform partai politik dengan menguasai satu kelompok di negaranya atau platform yang merobek kita suci agama lain. Jadi kita masih lumayan dibanding negara lain,” imbuh dia.
Namun, kata Yenny, Indonesia sebagai bangsa yang besar bukan berarti harus tenang-tenang saja dengan kondisi saat ini. Seyogiyanya, seluruh elemen bangsa harus berkaca pada diri sendiri agar Indonesia tak mengalami kejadian konflik bahkan perang saudara seperti yang terjadi di beberapa negara.
Yenny menilai, jika masyarakat tidak hati-hati untuk menciptakan kondisi yang sehat, maka intoleransi akan meningkat. Pada saat intoleransi meningkat, maka potensi konflik sesama warga juga akan naik. Hal itu yang perlu dicermati dan dicegah.
“Ketika ada letupan diantara warga bangsa, tentunya mengancam bangsa” tutur dia.
Survei tersebut dilakukan selama bulan Agustus 2018 terhadap 1.520 responden. Peneliti Senior LSI Burhanuddin Muhtadi mengatakan, populasi survei yakni warga negara indonesia yang sudah berumur 17 tahun keatas atau yang sudah punya hak pilih. Margin of error diperkirakan sebesar 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Pertama, survei dilakukan kepada pemeluk agama Islam. Hasil menunjukkan, sebanyak 52 persen responden LSI menyatakan keberatam jika kalangan non-muslim menjadi bupati atau wali kota. Sedangkan yang menyatakan tidak keberatan hanya sekitar 38 persen.
Pada jabatan yang lebih tinggi, 52 persen responden keberatan jika kalangan non-muslim menjabat posisi gubernur. Adapun, yang tidak keberatan hanya 38 persen. Sementara itu, persentasi untuk jabatan presiden dan wakil presiden, juga tak jauh berbeda.
LSI mencatat, sebanyak 55 persen responden muslim keberatan jika kalangan non-muslim menjadi wakil presiden dan 36 persen menyatakan tidak keberatan. Selanjutnya, 59 persen responden keberatan jika seorang non-muslim menjadi Presiden dan 32 persen responden tidak keberatan.
Kedua, survei dilakukan kepada responden non-muslim. Hasil menunjukkan mayoritas warga non-muslim tidak keberatan jika seorang muslim menjadi bupati/wali kota (78 persen), menjadi gubernur (78 persen), serta wakil presiden dan wakil presiden (86 persen). Terlepas dari hasil tersebut, Burhanuddin menilai, perolehan persentase itu tidak jauh dari faktor mayoritas-minoritas.
“Sejak 2010 hingga 2017, intoleransi religius-kultural masih stagnan. Sementara intoleransi dalam politik meningkat dalam tiga tahun terakhir,” ujar Burhanuddin di Jakarta.
Ia menjelaskan, alasan LSI mengambil isu intoleransi karena beberapa lembaga analisis menilai turunnya demokrasi berbanding lurus dengan kebebasan sipil. Artinya, seberapa jauh etnik agama punya hak yang sama dalam perpolitikan.
“Dalam demokrasi, suara mayoritas itu penting tapi demokrasi sendiri menghilangkan tirani mayoritas,” ucapnya.
Direktur Wahud Foundation Yenny Wahid mengatakan, intoleransi dalam politik tengah menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia. Salah satunya, faktor media jejaring sosial yang berdampak besar pada masyarakat. Meski demikian, Yenny tidak sepakat jika ada yang menyebut Indonesia sebagai negara yang intoleran.
“Soal intolerannya Indonesia, kita tidak punya platform partai politik dengan menguasai satu kelompok di negaranya atau platform yang merobek kita suci agama lain. Jadi kita masih lumayan dibanding negara lain,” imbuh dia.
Namun, kata Yenny, Indonesia sebagai bangsa yang besar bukan berarti harus tenang-tenang saja dengan kondisi saat ini. Seyogiyanya, seluruh elemen bangsa harus berkaca pada diri sendiri agar Indonesia tak mengalami kejadian konflik bahkan perang saudara seperti yang terjadi di beberapa negara.
Yenny menilai, jika masyarakat tidak hati-hati untuk menciptakan kondisi yang sehat, maka intoleransi akan meningkat. Pada saat intoleransi meningkat, maka potensi konflik sesama warga juga akan naik. Hal itu yang perlu dicermati dan dicegah.
“Ketika ada letupan diantara warga bangsa, tentunya mengancam bangsa” tutur dia.
Comments
Post a Comment